Featured Post

Love At The First Sight

Raksasa

 

KAMI digoyang gempa saat itu. Dan awalnya kami mengira pusat gempa berada di desa sebelah, namun ternyata hipotesis kami sehabis mengungsi di lapangan merah berbanding terbalik seratus persen. Desa sebelah tidak ada retakan sama sekali, bahkan sekalipun secuil aspal terkelupas di jalanan.

            “Lalu? Apa ada yang hancur selain TKP yang disebutkan bapak-ibu tadi?” Polisi itu terus mencermati kata demi kata yang kami utarakan. Kertas yang dipegangnya penuh catatan dan pulpen yang ia pegang tintanya. Kami kira-kira setengah jam lagi ia menulis, sudah pasti akan menyisakan goresan kosong di kertasnya.

            Kami menggeleng, “hanya surau yang hancur, Pak, itu saja. Sisanya normal, malah seperti tidak ada gempa,” yang lain menimpali. Kemudian ketika kami saling bertanya-tanya guncangan apakah tadi di lapangan merah. Salah seorang muncul dari balik kerumunan, ia berteriak dengan lantang yang hampir menghilangkan fungsi telinga kami.

            “Orang Gadang menyerang kita! Ia telah membumihanguskan surau Pak Mahmodden!” katanya. Kami bersitatap. Kalau perlu kami akan menambahkan kentungan beserta sarung hijau kotak-kotak yang mengalungi silang tubuhnya, lalu tinggallah ia berteriak-teriak parau di sekeliling desa: “Maling! Maling!”

            Kami terkekeh. Polisi itu masih serius mencatat. “Apa itu …. Orang Gadang?” ucapnya agak terbata-bata. Mungkin itu adalah pertama kalinya ia mendengar istilah tersebut.

            Nama itu tidak asing bagi masyarakat pedalaman Sumatera. Namun, juga di pendengaran kami sebagai masyarakat sekitar tepi kota yang masih berdekatan dengan hutan-hutan. Orang Gadang merupakan sejenis kriptid atau yang biasa anak-anak katakan adalah monster. Tubuhnya tinggi dan berbulu selayaknya manusia kera. Kami tidak meragukan keberadaannya karena beberapa tahun lalu anak Pak Mahmodden dikabarkan hilang diculik Orang Gadang.

            Mereka mempunyai koloni. Koloni mereka hidup di gua-gua atau lokasi hutan yang belum dijamah. Menurut leluhur kami, Orang Gadang bukanlah sejenis mahluk liar atau yang agresif. Seperti manusia biasa, tapi sebab adanya relokasi hutan yang menyebabkan setengah kawasan hijau itu mulai ditumbuhi industri. Pak Mahmodden, pria tua itu terkena imbas serangan beringas dari Orang Gadang.

            “Mahmodden,” tuturnya lamban. Mencatat nama itu sedetail mungkin dengan tinta pulpennya yang kami kira-kira kembali – kurang dari dua belas menit pulpen itu mungkin akan habis. “Ada yang mau menjelaskan kepada saya tentang orang ini?”

            Salah satu tangan menunjuk. Ia berdiri sebagai juru bicara. “Dia ketua desa kami, Pak,” jawabnya datar. Kami menaikkan alis – meledek. Setidaknya ia jangan melepaskan tanggung jawabnya seperti ini, gumam kami serempak dengan kata yang berbeda-beda, namun tetap memiliki satu makna yang sama.

            Pak Mahmodden telah lama menjabat menjadi ketua desa. Lebih dari separuh hidupnya julukan ketua desa itu melekat dalam sanubari keluarganya. Sebab tidak ada yang mencalonkan ataupun mengajukan diri menggantikan pria yang genap kepala empat itu. Entah ia gila harta, atau memang kami yang ogah menjadi cacian masyarakat.

            Tidak berlangsung lama perannya semakin memudar ketika ia kedatangan kakak tirinya dari kota. Setelah kematian ibunya, mereka akhirnya menjadi penyandang yatim-piatu. Kakak tirinya itu, kami anggap sebagai ular yang berbisa. Ia yang mengambil alih pekerjaan desa. Ia yang mengatur gaji buruh tani, jalur distribusi pakan ternak, dan sampailah dimana titik ia menyulap kawasan hutan tempat kami mencari makan menjadi gedung-gedung polutan.

            “Tenang, saya yakin desa kita akan semakin canggih seperti daerah-daerah Cina sana,” kata Ambar. Kami mual sekali apabila menyebutkan namanya. Sebut saja si ‘Ular’ itu yang menunjukkan peta perencanaan pembangunan kepada Pak Mahmodden yang cuman mengangguk-angguk menyamarkan kebingungannya.

            Kami tidak setuju. Masalahnya si Ular merelokasikan hutan tanpa persetujuan masyarakat. Maka kami berdemo di depan rumah Mahmodden yang berujung pada pembakaran ban. Tadinya kami ingin membakar rumahnya, tapi sayangnya rumah itu terdapat seorang bayi. Satu pekan tepat dimana istri Mahmodden kebetulan melahirkan.

            Esoknya si Ular menemui kami. Ia mengucapkan janji-janji manis bahwa masyarakat kami akan berkembang sedemikian rupa setelah pembangunan industri itu selesai. Agar tidak terlalu gaptek katanya. Kami pun mengiyakan saja dan menunggu apakah janji-janji itu termakbul.

            Ah, ucapan ia benar. Kami merasakan adanya kemajuan pada sektor desa. Mulai dari irigasi air, pembajakan sawah, dan perawatan ternak. Kami tidak lagi menganyam rotan maupun bambu. Semua kebutuhan kami lengkap. Tinggal berbaring santai di ranjang sembari melihat layar gawai, kami rasanya bangga telah menjadi orang kota yang seutuhnya.

            Namun ada kejadian tragis. Anak Pak Mahmodden hilang. Menurut desas-desus yang beredar, ia diculik Orang Gadang sebab mereka marah habitatnya telah dirusak oleh si Ular. Anehnya lagi, terlihat keluarga Mahmodden biasa-biasa saja seolah mereka hanya kehilangan sebuah dompet. Mereka tidak melapor polisi dan kami cukup geram atas perilakunya itu.

            Setahun berikutnya si Ular merencanakan untuk semua hutan lebih baik dimusnahkan saja. Sekali lagi kami berdemo di depan rumah Pak Mahmodden yang membawa sejumlah ban lebih banyak dari tahun sebelumnya. Namun si Ular kali ini menemui kami di waktu yang tepat. Mengucapkan pidato panjang yang membuat betapa bodohnya kami saat itu mengangguk-angguk percaya. Dan menandatangani surat persetujuan keberlanjutan relokasi hutan.

            Tidak ada masalah. Yang ada hanya kehidupan kami yang berlangsung semakin mudah. Kami jadi ingin membuat petisi pergantian ketua desa, mengingat Pak Mahmodden seperti bayangan yang hanya mengikuti dari balik punggung si Ular. Hingga ia membuat sesuatu yang menyentuh relung hati kami, Si Ular merencanakan pembangunan surau baru setelah melihat-lihat kondisi surau lama yang jika disentil jari bayi maka akan menyatu dengan tanah.

            Ya, bisa kalian lihat. Sepekan surau itu dibangun dan kondisinya malah lebih parah dari surau rapuh kami dulu, setidaknya surau rapuh itu masih bisa berdiri kokoh. Kami akhirnya memutuskan salat di lapangan merah setelah adanya gempa dan desas-desus kedatangan Orang Gadang yang hendak menyerang desa kami.

            Kami sudah menyiapkan beberapa senjata. Bahkan ibu-ibu dan anak-anak dibawa ke kota untuk sementara disaat kami tengah merancang strategi pertempuran. Si Ular malah kembali dengan berteriak-teriak parau yang mengatakan: “Rumah Mahmodden dibakar raksasa itu!”

            Sontak kami terbirit-birit menuju rumah Pak Mahmodden dan api membalutinya seperti kertas yang puing-puingnya terbang di udara. Menyisakan si Ular yang menangis-nangis berlekuk lutut, memaki-maki para dedemit itu.

            Kami terdiam dan berduka cukup lama. Si Ular pun mengajukan diri menjadi ketua desa. Ia menjadi lebih leluasa untuk mengatur perindustrian itu yang jumlahnya semakin banyak. Menjamuri desa kami. Sawah-sawah hilang. Hewan ternak diperjual-belikan ke kota, lantas sungai menyisakan air keruh yang tidak kami pakai lagi sebab kami memakai air pemerintah yang uangnya cukup besar dari gaji kami yang tak seberapa; tak lain dan tak bukan buruh pabrik perindustrian itu harus kami gandengi karena cangkul dan caping yang tidak ada lagi gunanya.

            Kadang kami merindukan pemandangan desa dulu dan kerinduan kami berubah menjadi demo yang ketiga kalinya menguar di rumah yang kini menjadi milik si Ular. Ia keluar dengan terbirit-birit, menembus kabut dari pembakaran ban, dan berteriak-teriak parau seperti biasanya: “Orang Gadang itu akan melakukan serangan kembali, kali ini ditujukan kepada saya!” katanya. Kami bersitatap dan entah kenapa memilih pulang pada saat itu juga.

            Lalu dua-tiga hari kemudian kami menemukan seorang wanita yang lusuh tersandra di gedung kosong salah satu industri itu. Kami terkejut. Ia adalah istri Pak Mahmodden yang kami kira telah mati terbakar. Perempuan itu lalu mengungkapkan dengan mulutnya yang kering bahwa si Ular telah membunuh anak dan suaminya. Sejatinya Pak Mahmodden tidak pernah menyetujui rencana si Ular. Mereka bertengkar hebat dan berujung pada si Ular yang kian membabi buta, lalu mula-mula ia membunuh keponakannya. Tak mempan. Maka ia menyekap istri Pak Mahmodden setelah berhasil membakar rumahnya dan membawa kabur administrasi desa.

            Kami marah. Kali ini kami tidak membawa ban dan minyak tanah. Kami membawa parang, sambit, atau celurit yang sekiranya dengan sekali tebasan; pandir itu segera terkulai lemas. Malam itu kami menggrebek rumahnya yang berujung pada pemandangan kosong. Tidak ada barang-barang sama sekali. Ia raib. Keesokannya orang-orang pabrik memberitahu kami bahwa perindustrian itu dibangun bukan atas nama desa, melainkan tanah kami telah dijual kepada investor asing. Dan tanah surau itu tak lama kemudian ditumbuhi gedung-gedung industri baru.

            Polisi itu tertawa tipis. Kami tertunduk malu. Ia lalu menutup buku catatannya dan mengajukan satu pertanyaan terakhir. Tebakan kami benar, pulpennya telah habis.

            “Lalu kalian tahu dimana si Ambar?”

            “Mungkin, sudah diculik Orang Gadang, Pak,” kata kami bercanda. Ia tertawa kembali. Kali ini ia sampai terpingkal-pingkal dan topi polisinya terjatuh. Ah, sudahlah. Setidaknya kami jadi terhibur sementara waktu, sebelum bersiap-siap mengungsi. Menyaksikan keruntuhan desa kami yang akan ditimpa kemarau panjang tak lama lagi. (*)


Penulis: Gagah Pranaja Sirat

Tidak ada komentar