Password Untuk Mendapatkan Izin Ibu
Jika ada hal yang paling sulit ditaklukkan, itu adalah hati ibuku. Dia selalu menganggapku sebagai anak manja yang masih harus diperhatikan semua tingkah lakunya sedetail mungkin, aku seperti boneka tali yang benangnya tidak terlihat saja. Dikendalikan, tidak bebas.
“Ibu tidak setuju kamu pergi! Sudah! Jangan melawan!” Ibu menebarkan pandangan marahnya kepada guru Alex di sekolah sore itu. Tepatnya di lapangan basket. Berada di pertengahan sekolah, para murid kelas 9 berkumpul menyaksikan keributan.
“Alex, jangan ikut campur! Dia itu anakku, aku yang berhak menentukan boleh atau tidak!”
Sore itu adalah sore yang sangat memalukan bagiku, guru Alex adalah guru terfavorit di SMPN 1 Ceria. Namun, sekarang malah dipermalukan oleh Ibuku dengan kata-kata pedasnya, “Dasar guru yang tidak tahu diri!”
Aku membujuk Ibu keluar dari lapangan basket, melewati beberapa bangunan kelas yang membentuk formasi persegi yang kurang satu sisi. Walaupun sudah agak menjauh dari lapangan basket, Ibu belum berhenti memaki guru Alex dari kejauhan, “Dasar guru jelek! Urusi saja keluargamu!”
Aku semakin tidak bisa menahan malu, semua mata memperhatikan kami. Mungkin setelah ini, aku tidak akan mampu menegakkan kepala lagi. Beberapa kawanku juga ada yang saling berbisik dari kuping ke kuping. Berantai, tidak terputus. Terkadang sampai tertawa kecil, menatap aneh ke arah kami.
“Sudah Bu...Sudah...” pinta lirihku sambil membujuknya untuk berhenti melemparkan serangan hujatan.
“Diam!” tanganku disentakkannya. Ibu masih tidak mau kalah, emosinya belum terkuras semua, dia masih kekeh memburu guru Alex, hatinya belum puas. Mataku makin terasa panas, di dalam hati aku berkomat-kamit memohon kepada Tuhan, supaya ibu mau pergi dengan baik-baik. Sudah cukup.
“Sudah Bu...” pintaku lirih sekali lagi.
“Diam!”
****
Sebulan yang lalu, kami sebagai siswa SMPN 1 Ceria sedang menghadapi kebosanan parah. Kami para murid kelas 9 tidak memiliki tugas penting di sekolah sebenarnya, karena telah menyelesaikan Ujian Nasional. Namun, kami tetap diwajibkan oleh sekolah untuk tetap hadir, berkumpul di dalam kelas. Diabsen. Muak.
Dari pintu yang menganga, terdengar suara dekak sepatu dari langkahan kaki yang tidak asing lagi bagi kami. Suara sol sepatunya sangat unik. Berirama, seperti ketukan gendang dalam sebuah lagu. Nyanyian lagu melayu dengan tempo yang asyik. Zapin.
Nget...! Engsel pintu mencicit. Sekarang tampak jelas si pemilik dekak sepatu melayu itu, dia guru Alex. Guru Bahasa Indonesia, yang sangat menyukai sastra dan lagu.
“Halo semua!” Dia melangkahkan kaki dengan ringan menuju satu kursi khusus untuk guru. Dengan, masih mempertahankan irama dekak sepatu melayu. Senyumnya bagai mentari yang menyinari wajah kami yang telah suram dalam kebosanan.
Aku tidak bisa menyimpan rasa senang, ketika bertemu dengan guru Alex. Senyumnya sangat unik, dapat menebarkan kedamaian bagi orang-orang yang memandang. Kedua pipinya terlihat gembung mengilat. Rambutnya rapi di sisir sejajar ke kanan. Hanya motornya saja yang kurang mengilat, motor tua Kap 70, yang merupakan warisan kakeknya selama 7 generasi.
“Guru. Kenapa sih, sekolah memenjarakan kami seperti ini?” Seorang murid bertanya, “Padahal kami telah selesai Ujian Nasional. Mengancam pakai absen segala. Kami mirip binatang ternak, Guru.”
“Diksi yang sangat mengagumkan, diternak oleh sekolah! Hahaha,” jawab guru Alex.
Seisi kelas dipenuhi suara tawa sumbang. Beberapa temanku mulai menunjuk-nunjuk kawan sebangkunya. Sambil memberikan gelar yang agak nyeleneh. Kosa kata dari binatang ternak keluar dari lisan manis mereka.
“Kamu kambingnya!”
“Kamu bantengnya!”
Aku masih memandangi guru Alex. Dia tidak merasa terganggu dengan suara tawa kami yang lepas. Bukan menganggapnya sebagai pembuat bising telinga. Dia tetap menyebarkan senyumnya, lalu menarik napas dengan Hikmat. Dia Sangat menikmatinya.
Dia seorang guru Bahasa Indonesia, sekaligus sastrawan ternama di kabupaten kami. Diksi yang diucapkannya tidak bisa ditebak dengan mudah, kadang menyayat hati, kocak dan juga sesekali agak nyeleneh. Kami juga diajarkan bagaimana cara memilih diksi yang unik. Pada jam pelajaran beliau, kami diajak belajar di lapangan basket sekolah. Dia berdiri dengan santainya di depan kami sambil membentangkan kedua tangannya. Beberapa kawanku beranggapan kalau guru Alex sedang berusaha berbicara dengan alam, seperti cerita yang ada pada buku Sang Alkemis karangan Paulo Coelho.
“Rasakan suasananya, biarkan rasa mengambil tangan kalian untuk menggoreskan kata-kata indah itu di atas kertas,” ucap guru Alex yang sangat menikmati ketenangan, matanya bahkan tidak dibuka sedikit pun. Penuh hikmat.
Baginya belajar sastra bukan hanya soal data atau sekedar rasa. Pada jam pelajarannya, kami selalu diingatkan untuk membaca minimal 20 halaman buku per hari; 10 halaman buku fiksi dan 10 halaman non-fiksi. Dan juga dilengkapi dengan riset dengan memandangi alam. Tujuannya untuk mendapatkan diksi dengan data, rasa dan sesuai dengan kenyataan.
“Kalian Bosan?!”
“Iya, Guru!” jawab semua murid serentak, aku juga ikut menggemakan rasa bosanku dalam hal ini. Aku ikut dalam riuh suara paduan jawaban itu, “Iya, Guru!”
Dia kembali merapikan dasi merah panjangnya, lalu mengelus jenggot halusnya. Sedang memikirkan sesuatu. Ekspresinya tiba-tiba berubah drastis, seperti menemukan sebuah ide baru. Aku bisa mengimajinasikan ada sebuah lampu kuning menyala di samping kepalanya.
“Siapa yang mau ikut jalan-jalan sastrawi. Bertualang, menemukan beberapa diksi yang bersembunyi.”
“Enggak ah, Guru! Palingan cuma mengitari sekolah lagi.”
Dia menampilkan senyuman yang agak lain. Lebih lebar dan bersinar. Jika tadi aku mengumpamakan ekspresinya seperti mentari, kali ini melebihi mentari. Seterang cahaya surga.
“Kita akan melakukan riset di Gunung Pitagoras! Menjelajah sebagai petualang, berkemah bersama sebagai kenangan manis antara murid dan guru. Bapak akan merindukan kalian anak-anakku.”
****
Bagaimana ya? Aku sangat suka perjalanan mencari diksi yang ditawarkan oleh guru Alex. Darah sastra mengalir pada pembuluh darahku, meminta untuk ikut. Namun, bagaimana dengan ibu? Ibu pasti akan mengungkit kembali tentang almarhum abang kandungku yang meninggal ketika mendaki Gunung Pitagoras, pada 5 tahun yang lalu. Sejak itu aku merasa, kalau ibu pasti akan melarangku. Aku pasti akan diikat bagaikan kerbau yang bisa dibawa ke mana-mana. Jujur, aku sangat takut, bahkan menyebut nama Gunung Pitagoras, aku membayangkan ibu akan mengamuk tidak karuan. Belum lagi air panas yang mengalir dari balik kelopak matanya.
“Sulit...sulit...”Aku mengeluh sambil memandangi loteng kamarku yang sudah dipenuhi dengan sarang laba-laba.
Aku berusaha menggapai gawai yang biasanya tertindih di bawah bantal. Aku mencari kontak si Fairuz.
“Wah...Aku sudah dikasih izin sama ibuku, Lim. Insya Allah aku akan ikut pertualangan mendaki Gunung Pitagoras, mencari diksi-diksi baru dari memandangi alam itu, Lim.”
Fairuz memang tidak mempunyai masalah, orang tuanya tidak mempermasalahkan. Aku pernah ke rumah Fairuz, ibunya bilang begini, “Anak laki-laki harus bisa mandiri. Jadi siap tamat SMP, kamu harus merantau ke kota, sekolah di sana, supaya enggak manja.”
Aku akan sangat bersyukur jika ibuku juga begitu sikapnya. Sangat mendukung pembentukan karakter kemandirian. Namun, bagaimana aku bisa berharap seperti itu, karena kenyataan tidak bisa kuhindari, andai saja abangku tidak meninggal ketika mendaki, pasti aku sekarang mendapatkan kebebasan.
Sebenarnya aku sempat mendatangi guru Alex dan menyampaikan keluhanku itu, “Kalau begitu berat ya, tapi sekarang kamu jadi laki-laki.”
“Maksudnya, Guru?”
“Iya sekarang waktunya buktikan kepada ibumu, kalau kamu mampu mandiri. Coba sampaikan, sampaikan dengan pendekatan yang halus, gunakan diksi yang bagus.”
“Belum, Guru, tapi..”
“Eits...Kalau tidak dicoba, tidak akan tahu. Semua butuh perjuangan, butuh pembuktian.”
****
“Guru sesat!” Aku masih berusaha menarik badan Ibu yang masih berusaha meluapkan emosinya kepada Guru Alex.
“Cukup, Bu. Aku tidak akan ikut, sudah!” entah kenapa, aku ketika itu meninggikan suara. dan semua momen panas itu seperti berhenti sebentar, mata Ibu mulai meleleh. Dengan cepat Aku langsung menangkap tangannya. Mencium tangannya, lalu memeluk badannya yang kurus dimakan zaman, aku dekatkan kepalanya pada bahuku, mengelus rambut putih rapuhnya.
“Aku sayang ibu, sudah. Aku tidak akan pergi.”
Sekarang suasana panas sudah mulai redam. Aku akui memang duniaku dengan dunia teman-teman yang diizinkan itu berbeda. Aku harus menerima. Aku memang hanya hewan ternaknya orang tua. Mungkin aku memang tidak pantas menikmati kenangan manis untuk mengakhiri masa SMP.
Aku tidak bisa menahan kesedihan, setiap kali menelusuri jalan pulang. Aku melihat para rombongan kelas tiga yang sedang sibuk membawa Carel, tenda dan peralatan mendaki yang lain. Aku sangat berharap bisa ikut, tapi harapan tidak akan pernah terwujud.
“Ayo!” Guru Alex menepuk tangannya memanggil para kawan-kawan kelas 3, “Oke, dengarkan! Semuanya sudah siap?!”
“Sudah, Guru!”
“Siap bertualang!?”
“Siap, Guru!”
“Ini akan jadi tulisan penuh kenangan kita,” Guru Alex mengangkat tangannya yang menggempal, “Sekarang semua berangkat.”
Para teman-teman bersegera mengemaskan semuanya ke atas beberapa truk yang sudah menanti. Truk berteriak melalui knalpotnya, asap hitam mengepul. Suara teman-teman yang histeris gembira, memenuhi keindahan sore itu. Mereka berlalu, melewati aku dan ibu di bibir aspal biru yang sedang berjalan pulang.
Gawaiku bergetar bising, memunculkan sebuah pesan dari guru Alex “Pakai filosofi identitas, Lim. Gunakan diksi yang halus.”
“Filosofi identitas?” Aku kembali mengingat pelajaran 2 tahun yang lalu, “Ooo...Filosofi identitas.”
Sebuah pemikiran yang mengatakan segala sesuatu itu punya identitasnya masing-masing, sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Jika aku dianggap sama dengan almarhum abang kandungku, maka itu sudah keluar dari identitas diriku. Karena aku tidak sama dengan abang kandungku. Halim adalah Halim, bukan orang yang lain.
Aku memandang ibu yang agak berubah roman wajahnya, sekarang lebih lembut. Mungkin, karena aku memeluk dan mengalah demi dirinya tadi. Masih ada satu kesempatan.
“Bapak masih di sekolah menunggu keberhasilanmu. Sekarang adalah waktu terakhir untuk meyakinkan Ibumu, kalau berhasil kita akan naik motor menyusul kawan-kawan yang sudah duluan pergi. Ingat, pakai alur yang lembut dan rapi.”
Aku kembali mencoba, tidak peduli apa yang akan terjadi nantinya, ini momen terakhir di SMP. Aku harus berjuang dengan cara yang indah.
“Bu. Aku mencintaimu.” Aku kembali mengambil tangannya. Kami berhenti sejenak di bibir jalan. menikmati suasana indahnya cahaya kemerahan sore. Di tepian jalan ada hamparan sawah yang padinya sudah menguning. Angin sore itu membantu meniupkan wangi miang padi kala itu. “Aku Halim, Bu. Halim anak ke-2 mu ini sangat mencintaimu, Bu.”
Ibu masih diam. Dia hanya menatapku dengan wajah agak tercengang. Sebenarnya aku gengsi mengucapkan kata-kata indah seperti ini kepada Ibu. Namun, kali ini harus aku lakukan. Tidak ada pilihan lain.
“Bu, Halim ingin menjadikan setiap momen itu berharga. Bersama ibu. Maafkan Halim sudah meneriaki Ibu di lapangan basket. Ibu adalah keindahan yang tidak bisa terganti dalam hidupku.” Aku sekali lagi mencium tangannya. Semoga hatinya luluh ya Tuhan. Tiba-tiba tangannya mulai mengelus kepalaku yang sudah agak menunduk mencium telapak tangannya, “Ibu juga begitu, Halim.”
“Ibu, kenangan sangat berarti bagiku. Apakah boleh...”
“Sudah, lim. Ibu perbolehkan. Pergilah bersama teman-teman. Ke Gunung Pitagoras, kan?” Kenapa begitu mudah? Aku belum sempat mengeluarkan semua jurus rayuan yang diajarkan guru Alex. Sekarang ibu mendekapku dengan hangat.
“Ibu paham. Pergilah, Nak! Maafkan Ibu. Ibu juga sayang kamu”
Seperti kilat, Guru Alex yang menyandang satu tas besar, tiba-tiba hadir dengan motor bebek kap 70, “Ayok, Halim! Naik!”
Aku memandang bingung kepada kedua orang ini. Mereka saling berbalas tawa. Ada apa sebenarnya?
“Ayo naik! Tunggu apa lagi, Lim.”
“Bentar bagaimana sih konsepnya? Aku belum...”
Mereka berdua semakin tergelak, “Pergi saja! Naik , Nak! Ibu sudah kasih izin.”
Aku menaiki motor Guru Alex. Guru melepas ranselnya, “Sandang tas ini! Itu semua barang-barangmu,” ucap guru Alex.
“Barang-barangku?” tanyaku.
Guru Alex tidak menjawab. Ibu mendekat kepada kami, “Terima kasih guru. Nanti kalau sudah sampai, jaga anak saya. Terima kasih juga atas kerja samanya.”
“Siap, Bu! Semuanya aman,” guru Alex tergelak, “Apa yang tidak untuk hari ibu.”
****
Tengah malam di Gunung Pitagoras. Ditemani dengan kehangatan api unggun dan nyanyian bersama kawan-kawan yang membuat lingkaran. Ada 6 lingkaran, satu lingkaran diisi 6 orang. Aku masih tercengang dengan semua yang terjadi siang tadi. Ransel itu, isinya memang bajuku. Siapa yang menyusunnya?
“Woy!” sergah Guru Alex.
“A-iya, Guru.”
Guru Alex duduk di sampingku, lalu menggosok-gosok bahuku, “Sebenarnya tadi siang itu Cuma drama belaka. Aku sudah menghubungi ibumu, Dia setuju. Bahkan semua barangmu sudah dipersiapkannya.”
“Maksudnya, Guru?” tanyaku.
“Ibumu ingin mendengarkan satu ungkapan indah dari mulut anaknya, Lim. Ungkapan cinta yang terus terang.”
Aku tersenyum sendiri. Memang aku orang agak sulit untuk mengatakan hal romantis kepada orang tua. Jadi, semua dugaanku tidak benar, karena trauma kehilangan abang kandung. Wah, mungkin aku harus mulai memperbaiki cara pandangku kepada ibu. Ternyata, harus pakai kata sandi khusus untuk mencapai izin Ibu.
Penulis: Rahmat Shaleh

Tidak ada komentar
Posting Komentar