Featured Post

Love At The First Sight

Berdiri Tegak

 

Di koridor sekolah, Ranita terlihat sedang duduk sendirian di sudut, berlindung dari sorot mata tajam, serta bisikan-bisikan yang datang dari siswa-siswa di sekitarnya.

 “Hei, lihatlah si Ranita di sana. Dia selalu terlihat seperti pecundang!” ejek salah satu perempuan berseragam putih abu-abu itu.

“Ya benar, dia memang tidak punya teman. Tidak ada yang mau berhubungan dengannya,” sambung temannya yang lain.

 “Aku bahkan tidak bisa memahami mengapa dia selalu tersenyum. Seperti bisa merasa senang meski dihina seperti itu,” tutur yang lain.

 “Mungkin, dia memang terlalu bodoh untuk mengerti bahwa dia tidak memiliki tempat di sini.”

Dengan hati yang bergetar, namun berusaha bersikap tegar, Ranita mencoba mengabaikan ejekan teman-temannya, dan menghadapinya dengan senyuman yang coba ia pertahankan.

 Aku harus tetap kuat. Aku tidak boleh membiarkan mereka melihat betapa mereka berhasil merobek jantungku. Batin Ranita.

Ranita adalah seorang gadis kecil yang ceria dan energik. Dia selalu tersenyum dan memiliki keinginan kuat untuk menjadi penari terbaik di sekolahnya. Namun, di balik senyumnya yang cerah, tersembunyi luka batin yang dalam. Ia sering kali menjadi sasaran ejekan dan intimidasi dari beberapa siswa di sekolahnya.

Hari-hari di sekolah bagi Ranita bukanlah masa-masa yang menyenangkan. Dia sering kali merasa asing dan tidak dihargai oleh teman-temannya. Mereka memanggilnya dengan julukan yang tidak mengenakkan, mengejek penampilannya, dan mencoba membuatnya merasa rendah diri. Meskipun terluka, Ranita selalu mencoba tersenyum dan membuat seolah-olah semuanya baik-baik saja.

 “Hei, Ranita! Apa kabar si pemalu? Sudah bosan menjadi kutu buku?” ejek salah satu teman sekelasnya.

“Oh, tidak, aku hanya menikmati pelajaran dan bersemangat untuk belajar. Ada yang salah dengan itu?” Ranita tersenyum kecil.

“Yah, kamu pasti tidak punya kehidupan sosial. Tidak ada yang mau menjadi temanmu, sih!” sambung beberapa temannya yang lain.

“Baiklah, mungkin kamu tidak akan memahaminya, tetapi aku menikmati kedamaian dan menemukan kebahagiaan dalam mengejar impianku,” tuturnya yang terlihat lebih tenang dari biasanya.

“Mimpi? Kamu tidak akan pernah bisa mewujudkannya. Kamu hanyalah seorang pecundang yang terjebak dalam dunianya sendiri!” ujar Ria, seorang perempuan cantik dan tampak modis di kelasnya, yang selalu saja menghina Ranita setiap harinya.

“Mungkin, aku tidak akan pernah bisa membuktikan kepada kalian sekarang, tetapi aku tidak akan menyerah. Aku tahu bahwa aku memiliki nilai dan kemampuan yang unik, dan suatu hari nanti, orang-orang akan mengakui itu,” ujar Ranita dengan bangga, walau sebenarnya ia takut berbicara seperti itu kepada teman-teman sekelasnya yang selalu saja merundungnya setiap hari.

“Oh, percaya diri yang berlebihan, bukan? Berhentilah bermimpi, Ranita. Dunia nyata tidak seperti buku dongeng yang kamu baca setiap hari!” seru salah satu teman satu geng Ria kembali mengejek.

“Tapi, aku ingin percaya bahwa kita semua memiliki potensi untuk meraih impian kita. Aku tidak ingin terjebak dalam perkiraan pesimis yang meremehkan sesama,” tutur Ranita dengan suara bergetar.

Ria melangkahkan kakinya mendekati Ranita. Ia mendorong sedikit bahu Ranita dan menatapnya dengan sorotan mata yang tajam juga sinis.

“Kamu hanya butuh satu kesempatan untuk merasakan kegagalan, maka impianmu akan hancur. Kamu hanya akan mengecewakan dirimu sendiri gadis bodoh!”

Ranita memberanikan dirinya untuk menatap wajah Ria. Dengan keringat yang mulai membasahi pipinya, ia memberanikan dirinya untuk tidak menundukkan kepala.

“Baiklah, mari kita bermain dengan logika. Bagaimana jika aku buktikan, kalau kalian semua salah dengan meraih impianku? Bagaimana jika aku membuktikan, bahwa jika kita bisa menunjukkan keberanian dan ketekunan, kita bisa berubah dan mencapai hal-hal yang luar biasa?” tutur Ranita sambil menatap Ria dan teman-temannya silih berganti.

“Kamu berani bicara besar? Katakan, saja apa yang akan kamu capai dalam hidup ini?” tanya salah satu teman Ria seraya mendorong bahu Ranita dengan bahunya.

“Aku ingin menjadi penari yang hebat. Aku ingin mengekspresikan diriku melalui gerakan-gerakan yang indah dan menyentuh hati orang. Aku ingin membawa senyuman dan kebahagiaan kepada orang lain melalui bakatku,” katanya penuh tekad.

“Hahaha, gadis ini benar-benar tidak ada harapan. Mimpi apa yang bisa kamu gapai dengan terus dilanda hinaan dari kita semua?”

Ranita menatap tajam semua teman-teman sekelasnya yang selalu saja merundungnya. “Jadilah saksi ketika impianku menjadi kenyataan. Aku akan berjuang dan terus berusaha. Dan dengan atau tanpa dukunganmu, aku akan meraih apa yang aku inginkan.”

Namun, pada suatu hari, segalanya berubah. Ranita memutuskan bahwa dia tidak akan pernah lagi membiarkan siapapun untuk merundung dan meremehkannya. Ia membangun keberanian dalam hatinya dan bersumpah untuk berani berbicara.

Keesokan harinya, saat pulang dari kelas tari, Ranita melihat salah satu perempuan yang sering terlibat dalam perundungan di sekolahnya sedang bersama teman-temannya. Perempuan itu adalah teman sekelasnya yang selalu saja menghina dirinya. Dengan langkah yang mantap, dia menyusulnya dan menghentikannya di tengah koridor.

“Hey, kamu!” seru Ranita dengan suara yang tegas.

“Sialan, apa yang kamu inginkan, Ranita?” balas siswi itu sambil tersenyum sinis, yang ternyata adalah sosok perempuan modis bernama Ria.

Ranita menahan napas dan menatapnya tajam. Dia bisa merasakan keberanian dan kekuatan yang mengalir dalam dirinya. Dengan suara gemetar namun penuh tekad, ia menjawab.

 “Aku ingin kau berhenti merundungku. Aku ingin kau menghormatiku sebagai manusia, bukan sebagai target ejekanmu.”

 Ria tampak terkejut dan terdiam sejenak. Ada kelipan rasa bersalah di matanya, kemudian dia melepaskan tawa kecil. “Kamu pikir aku akan takut padamu? Kamu hanyalah seorang pecundang, Ranita!” ucapnya dengan nada mengejek.

Namun, kali ini Ranita tidak akan membiarkannya memenangkan permainan ini. Dengan kepala tegak dan hati yang bergetar, ia menyampaikan perasaannya dengan lantang.

“Aku bukan pecundang seperti yang kau katakan. Aku adalah seorang gadis yang memiliki mimpi besar, dan kamu tidak pernah akan mampu meruntuhkannya. Aku pantas mendapatkan penghormatan dan toleransi yang sama seperti yang kamu dapatkan.”

Ria terdiam, merenungi kata-kata Ranita dengan pandangan yang terkunci. Ranita kemudian melanjutkan dengan lebih berani.

“Kamu tahu, kata-kata yang kau ucapkan menyakitkan, tapi aku tidak akan membiarkan kau menjatuhkanku. Aku berdiri di sini untuk menyatakan bahwa aku pantas dihargai, dan aku pantas meraih impianku. Jadi, berhentilah meremehkanku.”

Seiring dengan kata-katanya, Ranita merasakan beban hatinya berkurang. Dia merasa seperti sedang melepaskan diri dari belenggu ketakutan dan ketidakamanan. Dia merasa bebas dan berani. Namun, apa yang terjadi selanjutnya, bahkan Ranita tidak dapat memprediksinya.

Ria yang sebelumnya selalu mempermalukannya, tiba-tiba melihat ke bawah dan meminta maaf dengan tulus. “Ranita, aku benar-benar minta maaf atas sikapku yang tidak sopan dan perlakuan burukku terhadapmu. Aku menyadari bahwa aku telah meremehkanmu tanpa alasan yang sebenarnya. Kamu pantas mendapatkan penghargaan dan kesempatan yang sama seperti yang aku dapatkan. Aku janji aku akan berubah dan mendukungmu dari sekarang.”

Ranita terpukau dengan apa yang baru saja terjadi. Dia tidak bisa percaya bahwa orang yang selalu merundungnya sekarang meminta maaf dengan tulus. Dia menyadari betapa pentingnya untuk berani memperjuangkan dirinya sendiri. Dia menyadari bahwa dengan berani mengekspresikan ketidakpuasan dan keinginannya, dia bisa merubah persepsi orang lain terhadap dirinya.

“Aku memaafkanmu, Ria. Janganlah lagi kamu merundung orang lain. Biarkan aku menjadi korban terakhirmu dalam perundungan di sekolah ini.”

“Iya, sekali lagi aku meminta maaf padamu, Ranita.”

Mereka berdua pun saling berjabat tangan dan berpelukan. Semenjak Ranita memperjuangkan hak atas dirinya dan memenangkan lomba tari, semua orang di sekolahnya mulai berhenti merundungnya karena Ranita kini menjadi siswi berprestasi di sekolahnya.

Momen itu menjadi titik balik dalam hidup Ranita. Orang-orang di sekolah mulai melihatnya dengan cara yang berbeda. Mereka mulai menghargai dan mengakui bakat dan keinginannya dalam menari. Ranita tidak lagi menjadi sasaran intimidasi, tetapi menjadi inspirasi bagi teman-temannya yang lain. Dia menginspirasi mereka untuk berani berbicara dan mempertahankan hak-hak mereka sendiri.

“Hey, Ranita!” panggil Ria sambil berlari-lari kecil menghampiri Ranita, “ayo, kita ke kantin!” katanya sambil merangkulnya dan menatapnya dengan tatapan ramah.

“Ayo, aku juga sudah lapar!” tuturnya menjawab seraya menggandeng tangan Ria yang kini telah menjadi temannya.

Dalam menjalani sisa hari-harinya di sekolah, Ranita menemukan keberanian dan ketepatan dalam berbicara. Dia belajar bahwa dalam kehidupan adalah bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan dan mendapatkan apa yang pantas kita dapatkan. Ranita menerangi jalan bagi orang-orang di sekitarnya untuk berani mengekspresikan diri mereka dan tidak takut untuk berdiri untuk yang benar.

Dengan begitu, Ranita tidak lagi menjadi gadis yang diabaikan dan dilecehkan. Kini, ia melintasi koridor sekolah dengan kepala tegak dan senyum di wajahnya. Dia tahu bahwa dengan berani menyuarakan diri, tidak hanya ia yang mendapat manfaat, tetapi juga orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia telah menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri untuk bertindak dan melawan penindasan, dan melalui itu, dia memberikan inspirasi kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Penulis: Karina Saraswati Mukti

 

 

Tidak ada komentar