Sepeda Baru untuk Dino
“Kemarin,
Ayah sama Ibu ngajak Aku ke Bandung loh!” ucap Dina di hadapan ketiga rekannya.
“Wah,
Aku belum pernah kesana. Kamu main kemana aja?” tanya Vicky.
“Banyak,
dong. Ke kebun binatang, kebun teh, keliling kota Bandung” balas Dina dengan
penuh bangga.
“Aku
juga pengen bisa liburan.” Dino menampakkan raut wajahnya yang bercorak
kesedihan.
“Kenapa?
Kamu nggak pernah liburan?” celoteh Wulan, tak memikirkan perasaan orang.
Dino
menggeleng. Selama ini Ia hidup bersama dengan Nenek dan Kakeknya yang sudah
berlanjut usia, karena kedua orang tuanya telah meninggal sejak Dino masih
berusia tiga tahun. Sehari-hari Kakek dan Nenek Dino hanya bekerja sebagai
petani di sawah milik tetangga mereka untuk bertahan hidup.
“Semoga
suatu saat kamu bisa liburan juga yah Dino!” Dina memberikan semangat kepada Dino.
Dino
mengangguk dan tersenyum.
Sepulang
sekolah seperti biasa Dino harus mengayuh sepedanya yang sudah tua untuk sampai
ke rumahnya. Di tengah jalan sebuah sepeda motor tanpa sengaja menyerempetnya
hingga Ia terjatuh dari sepeda. Terlihat sepeda Dino rusak.
Tiba-tiba
air matanya mengalir deras, menangisi sepedanya yang telah rusak. Kakinya pun
juga terluka. Sementara sepeda motor yang menabraknya pergi tanpa bertanggung
jawab.
Akhirnya
Dino harus berjalan kaki beberapa kilo meter untuk sampai ke rumah sambil menuntun
sepedanya yang telah rusak. Tak terasa hingga waktu pun beranjak sore hari.
Dino baru saja tiba di rumahnya dengan raut wajah terlihat letih dan dipenuhi
kesedihan.
“Loh,
Dino. Kenapa kamu menuntun sepedamu? Kenapa enggak dinaiki?” tanya Neneknya.
Dino
pun menceritakan kejadian yang telah menimpanya. Dia juga menjelaskan kalau
sepedahnya rusak parah dan tak dapat diperbaiki lagi. Neneknya merasa sangat
iba ketika mendengarkan cerita sedih yang telah menimpa cucunya. Tak menunggu
lama, Nenek segera mengobati kaki Dino yang terluka.
“Udah,
nggak papa Dino. Kamu doain Kakek sama Nenek ya, biar bisa punya uang untuk
beliin sepeda yang baru buat kamu.” Nenek Dino berusaha untuk menenangkan
perasaan Dino dan menjanjikan untuk membelikannya sepeda baru.
Dino memeluk Neneknya sambil menangis tak kunjung henti. Dalam hati Ia berdoa, semoga dirinya bisa memiliki sepeda baru lagi.
*****
Keesokan
harinya Dino harus berjalan untuk pergi ke sekolah tanpa ditemani sepedanya, sehingga
Ia terlambat masuk kelas.
“Loh
Dino? Kenapa kamu datang terlambat?” tanya Ibu guru.
Dino
menjawab sambil menundukkan kepalanya. “Sepeda saya rusak, Bu. Kemarin saya
habis kena musibah. Jadi saya harus berjalan dari rumah ke sekolah.”
“Ya
Allah, Dino. Semoga Allah memberikan gantinya ya buat kamu. Yang sabar dan
tetap semangat! Sekarang kamu duduk saja ya.” Kali ini Ibu guru mempersilahkan
Dino untuk duduk ke bangku miliknya.
Sesampainya
di bangku miliknya, Dina, Wulan, dan Vicky menatapnya penuh iba. Mereka bertiga
merasa sangat kasihan sekali kepada Dino. Mereka bertiga berusaha untuk
memberikan semangat dan menghibur Dino.
Sepulang
dari sekolah, Dina, Wulan, Vicky menemui Wali kelas mereka. Mereka bertiga
sedang membicarakan sesuatu bersama Wali kelas.
“Jadi
kalian mau melakukan penggalangan dana untuk Dino?” tanya Bu Sinta, Wali kelas
mereka.
“Iya
Bu, biar Dino nggak perlu jalan lagi. Kasihan, Bu rumahnya jauh.” Dina menyahut
dengan sigap.
Bu
Sinta menjawab tanpa berpikir lama.
“Kalau
begitu kita diskusikan dengan yang lain dulu ya, bagaimana?”
Ketiganya
mengangguk.
Keesokan
harinya tanpa sepengetahuan Dino, Bu Sinta mendiskusikan perihal penggalangan
dana untuk Dino.
“Kami
setuju Bu, kasihan Dino.” Para siswa menyetujui ucapan Bu Sinta.
“Saya
juga Bu.” Dilanjutkan dengan Ketua kelas menambah poling persetujuan.
“Baiklah
kalau begitu, Bu Sinta kasih waktu seminggu yang untuk mengumpulkan dananya.
Kalau sudah terkumpul semua, nanti berikan kepada Ibu ya,” tutur Bu Sinta
bernada lugu.
Semua
siswa pun mengangguk.
Seminggu kemudian, seluruh uang telah terkumpul. Ketua kelas menyerahkan uang penggalangan dana tersebut ke Bu Sinta. Beliau pun pergi memilih sepeda baru untuk Dino ditemani oleh kedua siswinya yaitu Dina dan Wulan.
*****
Keesokan
harinya, seperti biasa Dino datang terlambat. Ia heran mendapati kelas yang sepi
dan kosong meskipun jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dia hanya bisa
melamun dan berbicara sendiri di dalam hati.
Lima
menit kemudian Vicky masuk ke dalam kelas.
“Dino,
ayo ikut aku!” ajak Vicky menarik tangan Dino.
“Eh
mau kemana?” tanya Dino penasaran.
Betapa
terkejutnya Dino melihat seluruh temannya di luar kelas telah berkumpul bersama
Bu Sinta secara tiba-tiba.
“Dino,
ini sepeda baru dari teman-teman. Mohon diterima dan dijaga baik-baik, ya.” Bu
Sinta mengawali.
Tak
percaya, dia membulirkan air mata penuh haru. Ia berjalan mendekati sepeda
barunya berwarna hitam. Tak lupa Ia bersujud sukur di hadapan Sang Maha Kuasa.
“Ya
Allah, ini beneran buat saya Bu? Teman-teman semuanya?” Dino benar-benar tak
percaya dengan kejutan yang diberikan teman-teman satu kelasnya dan Bu Sinta
itu. Ia begitu terharu hingga tak tahu apa yang harus Ia ucapkan lagi kepada mereka.
“Iya,
ini untuk kamu Dino.” Dina menyunggingkan senyumannya.
“Te..rima
ka..sih ya semuanya…” Isakan tangis Dino membuat ucapannya terpatah-patah.
Seluruh
temannya pun segera memeluk Dino. Bu Sinta begitu terharu menyaksikan solidaritas
siswa siswinya.
Penulis : Siska Indah Sari, S.Pd.

Tidak ada komentar
Posting Komentar